Di buat sebagai sarana DATABASE bersama
Anggaplah informasi di artikel ini sebagai kepingan Petunjuk
Bisa jadi alur kisah tidak sempurna,karena petunjuknya belumlah terlengkapi
Atau mungkin kepingan dan petunjuk yang lain itu anda yang punya
mari berbagi informasi dan anda bisa berbagi di kolom komentar
Terima Kasih
Selasa, 10 Desember 2019
Ketika Rayap Mengajarkan Adab
Walaupun banyak protes terhadap anggotanya yang membakar bendera tauhid (ar rayâh), jangankan minta maaf, si nganu tetap bersikeras bahwa tindakannya benar : bermaksud memuliakan kalimat tauhid agar tidak dijadikan sebagai alat propaganda oleh ormas tertentu….
***
Ketika Abu Jahal menjadikan nama Allah dalam naskah pemboikotan kepada Rasulullah, lalu naskah ini ditempel di dinding ka’bah.. (bayangkan kalau saat itu ada si nganu, ka’bah dan naskah pemboikotan bisa jadi akan dibakar, dianggap seperti ‘masjid dhiror’).
Setelah tiga tahun terasingkan di celah bukit, solidaritaspun datang, justru datangnya dari sebagian orang kafir yang menaruh belas kasihan kepada umat Islam: Hisyam bin ‘Amr, Zuhair bin Umayyah, Abul Buhturiy, Zam’ah bin Al-Aswad dan Muth’im bin Adi, merekalah yang ‘berkomplot’ merekayasa opini agar pemboikotan diakhiri….
Singkat cerita, ketika Muth’im bin Ady mau merobek naskah perjanjian tersebut, dia mendapati naskah perjanjian itu telah dimakan rayap, kecuali bagian awalnya yang berbunyi: Bismika Allaahumma. (Ibnu Ishaq (w. 151 H), As Siyar Wal Maghazi, hal 167).[1]
***
Rayap seolah ingin mengajari adab terhadap tulisan nama Allah, sekalipun tulisan itu dijadikan alat untuk persekongkolan jahat. Rayap mengajari kita agar bisa memilih dan memilah, mana yang harus dihilangkan, mana yang harus dimuliakan.
Isi naskah pemboikotan itulah yang dilahap oleh rayap, sementara Asma Allah tetap dimuliakan.
Sekarang tengoklah yang terjadi, Manakah yang lebih beradab, si pembakar ataukah si rayap?
Mengapa ‘naskah pemboikotan’ yang justru dijaga, sementara Asma Allah yang dibakar?
Mengapa ‘naskah’ perjanjian yang mengingkari hukum-hukum-hukum Allah dimuliakan sementara kalimat tauhidnya justru dihinakan, karena dianggap membahayakan ‘perjanjian’ yang wajib ditepati?.
Mengapa pengajian dihadang, sementara natalan justru ditemani, budaya sesat disayangi atas nama toleransi, LGBT diberi ruang atas nama hak azasi, di sisi lain yang menyuarakan hukum Islam mau diganyang atas nama demokrasi? Benarkah ada perjanjian seperti ini?
Jikalaupun benar ada perjanjian seperti ini, apakah isi perjanjian tersebut yang layak dihormati sembari menistakan kalimat ilahi?. akankah rayap lebih mulia ketika mereka menghilangkan perjanjian pemboikotan dengan tetap menjaga nama Allah Rabbul Izzati?
***
Apalagi jika organisasi yang dimaksud kesalahannya semata-mata hanya karena menginginkan tegaknya hukum Allah di negeri ini, lewat diskusi bukan persekusi, mengedepankan pemikiran logis bukan tindakan anarkis? Terlebih lagi bendera yang dibakar bukanlah bendera organisasi tersebut, mereka tidak pernah mengklaimnya, justru mereka mensosialisasikan bahwa itu adalah rayah Rasulullah saw.
***
Sungguh, kecintaan kepada apa yang diwariskan oleh Rasulullah, termasuk bendera tersebut, adalah bukti keimanan. Jangankan bendera yang ada kalimat tauhidnya, tikar tempat duduk Rasulullahpun—sekali lagi hanya tempat duduk beliau—itupun mereka muliakan, padahal tidak ada lafadz apapun, hanya karena bersentuhan dengan bagian tubuh Rasulullah, bagian tubuh yang kitapun menganggapnya biasa atau bahkan ‘dibawah biasa’, cuma bekas pan***.
Pasca penyerangan Banu Bakr kepada Bani Khuzaah, yang ini berarti pelanggaran perjanjian Hudaybiyyah, Abu Sufyan ingin minta maaf kepada Rasulullah dan mempertahankan perjanjian tersebut.
Sebelumnya ia menemui putrinya, Ummu Habiba, yang juga adalah istri Rasulullah. Ketika ia ingin duduk di atas tikar, tiba-tiba tikar tersebut dilipat oleh Ummu Habibah r.a, Abu Sufyan bertanya dengan penuh keheranan,
يَا بُنَيَّةُ مَا أَدْرِي أَرَغِبْتِ بِي عَنْ هَذَا الْفِرَاشِ، أَوْ رَغِبْتِ بِهِ عَنِّي؟
“Wahai putriku, aku tidak tahu, apakah engkau lebih sayang kepadaku dari pada tikar itu, atau lebih sayang tikar itu dari pada aku?”
Putrinya menjawab,
بَلْ هُوَ فِرَاشُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنْتَ مُشْرِكٌ نَجِسٌ، فَلَمْ أُحِبَّ أَنْ تَجْلِسَ عَلَى فِرَاشِهِ
“ bahkan (aku lebih sayang tikar ini), ini adalah tikarnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang kotor, aku tidak suka engkau duduk di atas tikar Rasulullah.” (Imam Al Baihaqi, Dalâilun Nubuwwah, 5/8).
Andai kejadian itu terjadi hari ini, mungkin Ummu Habibah akan dibully: “tidak mengerti hadits”, atau “tidak ada hadits yang menyuruh memuliakan tikar Rasulullah”, atau “keliru kalau disebut sebagai tikar Rasulullah, yang benar itu cuma tikar (saja)”…
***
Suatu ketika dalam sebuah kelas, seorang murid dengan membawa berbagai makanan berkata kepada gurunya: “bapak, tolong bacakan doa halarat”. “Kenapa?” tanya gurunya. “Tadi pagi ulun (saya) kada (tidak) sengaja menjatuhkan Alquran” jawab si murid.
Begitulah orang tua dulu mengajari adab, walau tidak sengaja sekalipun mereka ajari anak untuk bertaubat, menyesal, dan tidak cukup itu, mereka ajarkan untuk bersedekah sebagai bentuk penyesalan, bukan malah diajari mencari alibi, hilah, alasan, dalih, maupun hal-hal yang intinya menganggap kesalahan sebagai hal yang mulia. Coba tanyakan ke hati nurani yang terdalam tepatkah hal tersebut? Jika sudah kehilangan hati nurani, tanyakanlah kepada rayap, mungkin dia lebih beradab. Allahu A’lam. [MTaufikNT]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar