===============================================

Di buat sebagai sarana DATABASE bersama

Anggaplah informasi di artikel ini sebagai kepingan Petunjuk

Bisa jadi alur kisah tidak sempurna,karena petunjuknya belumlah terlengkapi

Atau mungkin kepingan dan petunjuk yang lain itu anda yang punya

mari berbagi informasi dan anda bisa berbagi di kolom komentar

Terima Kasih

===============================================

Selasa, 18 Februari 2020

Kate-pe dan kolom agama


Gara gara ka,-te,-pe kita akan bahas lebih jauh sebuah sisi lain.
namun sebelum itu kita simak dlu ,komedi ka-te-pe dari channel lula studio 
https://www.youtube.com/channel/UC1Umhz5F_rPZGm4BB2PHlqg
KTP - Film tentang Pegawai Kecamatan Lucu- Produksi ASA Film (HD) 






------------------------------------------------------------------------
Ajaran Tauhid dalam Keyakinan Kapitayan

Ajaran Kapitayan menyakini bahwa segala sesuatu di alam semesta ini, diciptakan oleh Sang Maha Kuasa, yang di-istilahkan sebagai Sang Hyang Taya. Sosok Sang Hyang Taya, memiliki makna Dzat yang tidak bisa didefinisikan, yang tidak bapat didekati dengan Panca Indra.

Kepercayaan Ajaran Kapitayan kepada Sang Maha Pencipta, tentu tidak lepas dari ajaran tauhid yang dibawa oleh leluhur umat manusia Nabi Adam.

Setelah peristiwa bencana di masa Nabi Nuh, ajaran monotheisme ini kemudian disebarluaskan oleh pengikut serta keluarga Nabi Nuh, ke seluruh penjuru dunia. Jejak ajaran Tauhid Nabi Nuh, nampaknya memberkas kepada ajaran Kapitayan yang dianut oleh leluhur masyarakat Nusantara di masa Pra Sejarah.
---------------------------------------------------------------------------

Adalah satu kekeliruan, jika kita beranggapan Leluhur masyarakat Nusantara, adalah penganut animisme, penyembah benda-benda alam. Leluhur...Nusantara telah mengenal ketuhanan

Leluhur Nusantara di masa purba, telah memiliki keyakinan monotheisme, yang disebut “Ajaran Kapitayan”.

Dalam keyakinan penganut kapitayan di Jawa, leluhur yang pertama kali dikenal sebagai penganjur Kapitayan adalah Danghyang Semar keturunan tegas dari Manusia Modern pertama yang di turunkan ke dunia yaitu Adam. Dalam kitab kuno Pramayoga dan Pustakaraja Purwa Silsilah Nabi Adam sampai Danghyang semar dijelaskan sebagai berikut :


situs semar cipaku-sumedang

Nabi Adam => Nabi Syis => Anwas dan Anwar => Hyang Nur Rasa => Hyang Wenang => Hyang Tunggal => Hyang Ismaya => Wungkuhan => Smarasanta (Semar)

silsilah semar

Dalam keyakinan penganut Kapitayan, leluhur yang pertama kali sebagai penyebar Kapitayan adalah Dang Hyang Semar putera Sang Hyang Wungkuham keturunan Sang Hyang Ismaya. Yang mengungsi ke Nusantara bersama saudaranya Sang Hantaga (Togog) akibat banjir besar di Negara asalnya dan akhirnya Semar tinggal di Jawa dan Togog di luar Jawa. Sedangkan saudaranya yang lain yaitu Sang Hyang Manikmaya, menjadi penguasa alam ghaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-Hyang-an.

Secara sederhana, Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya yang bermakna hampa, kosong, suwung, awang uwung. Taya bermakna yang Absolute, yang tidak bisa dipikirkan dan dibayang bayangkan, tidak bisa didekati dengan panca indera. Orang jawa kuno mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat "Tan kena Kinaya Ngapa" yang artinya tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Kata Taya bermakna tidak ada tapi ada, ada tetapi tidak ada. Untuk itu agar bisa dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau To, yang bermakna seutas benang, daya ghaib yang bersifat Adikodrati. 


Tu atau To adalah tunggal dalam dzat, Satu pribadi. Tu Lazim disebut Sanghyang Tu-nggal, Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan dan ke-tidak baikan. 

Tu yang bersifat baik disebut Tu-han dengan nama Sanghyang Wenang, Tu yang bersifat tidak baik disebut han-Tu dengan nama Sang Manikmaya.  Baik Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya adalah sifat saja dari sanghyang Tunggal yang Ghaib.

Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat utamanya itu bersifat ghaib, untuk memujanya dibutuhkan sarana yang bisa didekati oleh panca indera dan alam pikiran manusia. demikianlah, dalam ajaran kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan sang taya yang mempribadi dalam Tu atau To itu ada dibalik segala sesuatu yang memiliki nama Tu atau To seperti : wa-Tu (Batu), Tu-lang, Tu-ndak (bangunan berundak), Tu-tud (hati,limpa), To-san (pusaka), Tu-ban (mata air), To-peng, Tu-rumbuk (pohon beringin), Tu-gu.


Dalam melakukan puja bakti sesembahan kepada Sanghyang Taya maka disediakan sesaji Tu-mpeng dalam Tu-mpi (keranjang anyaman bambu), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada sanghyang Tu-nggal yang sifat gaibnya tersembunyi dibalik sesuatu yang memiliki daya ghaib seperti wa-Tu, Tu-gu, Tu-rumbuk, Tu-lang, Tu-ndak, To-san, To-ya.


Berbeda dengan persembahan sesaji kepada Sanghyang Tu-nggal yang merupakan puja bakti melalui pelantara, para Rohaniawan kapitayan melakukan sembah-Hyang langsung kepada Sanghyang Tu-nggal di suatu ruangan khusus bernama Sanggar, bangunan persegi empat beratap Tu-mpang, dengan Tu-tuk (lubang) di dinding sebelah timur sebagai lambang kehampaan Sanghyang Taya, dengan mengikuti aturan tertentu :



- Mula mula sang Rohaniawan melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tu-tuk (lubang) dengan kedua tangan diangkat keatas menghadirkan Sanghyang Taya kedalam Tu-tud (hati), setelah merasa Sanghyang taya hadir didalam hati, kedua tangan diturunkan di dada tepat pada Tu-tud (hati), posisi ini disebut Swadikep (sidakep/memegang ke-akuan diri), proses Tulajeg ini dilakukan dalam tempo lama.

- Setelah tulajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang kebawah) yang juga dilakukan dalam tempo yang relatif lama.

- Lalu dilanjut kan dengan posisi Tu-lumpuk (bersimpuh dengan kedua tumit diduduki) dilakukan dalam relatif lama.

- Yang terakhir, dilakukan dengan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya) juga dilakukan dalam tempo yang lama.

Setelah melakukan sembahyang yang begitu lama itu, Rohaniawan Kapitayan dengan segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Sanghyang taya yang sudah disemayamkan didalam Tu-tud (hati).

Seorang pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai Tu-ah (kekuatan gaib yang bersifat positif) dan Tu-lah (kekuatan gaib penangkal negatif). 

Mereka yang memiliki Tu-ah dan Tu-lah itulah yang dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat dengan gelar ra-Tu atau dha-Tu.

Dalam ajaran kapitayan, para ra-Tu atau dha-Tu yang sudah dikaruniai Tu-ah dan Tu-lah setiap gerak geriknya akan ditandai oleh Pi, yaitu kekuatan dari sanghyang taya yang tersembunyi. itu sebabnya ra-Tu atau dha-Tu menyebut diri dengan kata ganti Pi-nakahulun

- jika berbicara disebut Pi-dha-Tu (Pi-dato)
- jika memberi pengajaran disebut Pi-wulang
- Jika memberi petunjuk disebut Pi-tuduh
- jika memberi nasihat disebut Pi-tutur
- jika memberi hukuman disebut Pi-dana
- jika memancarkan wibawa disebut Pi-deksa
- jika meninggal dunia disebut Pi-tara


Seorang ra-Tu atau dha-Tu adalah pengejawantahan kekuatan ghaib Sanghyang Taya, Citra pribadi sanghyang Tunggal.

Demikianlah ajaran yang dianut oleh bangsa Nusantara sejak zaman purba dan masih bertahan sampai hari ini dengan nama dan cara yang berbeda seiring dengan perkembangan ras manusia beserta kebudayaanya. pada masa Modern, ajaran tersebut masih secara utuh dianut oleh sebagian masyarakat suku pedalaman dengan istilahnya masing-masing seperti:
Sunda Wiwitan pada suku Sunda, Kejawen pada suku Jawa, Kaharingan/Tjilik Riwut pada suku Dayak, Ugamo Malim pada suku Batak

Adapun agama-agama yang sekarang ada adalah pengaruh dari luar yang baru datang sejak awal Abad Masehi, seperti Agama Hindu dan Budha dari India dan China, Agama Kristen dari Eropa, dan Agama Islam yang merupakan pengaruh dari berbagai negeri seperti Persia, Arab, Rum, Gujarat, Tiongkok dan Champa.
=======================
Seluruh tulisan ini merupakan hasil kajian Pesantren Ramadhan bersama Ki Ngabehi H.Agus Sunyoto yang diselenggarakan di Pesantren Global Trabiyyatul'arifin, Pakis, Swojajar, Malang
"Hamemayu Hayuning Bawono: Menata Keindahan Dunia". Kapitayan, Agama Universal Dari Tanah Jawa.
-----------------------------------------

Kapitayan Adalah Bukti Seorang Nabi Pernah Terlahir di Nusantara

Wahai saudaraku. Jauh sebelum era perhitungan Masehi dimulai, khususnya di tanah Jawa sudah ada satu keyakinan pada Ke-Esaan Tuhan.
Para leluhur kita dulu SUDAH SADAR DIRI, jauh sebelum ajaran agama baru yang di import dari Timur Tengah, India dan China hadir di Nusantara.

Para beliau merasa bahwa KEYAKINAN itu adalah untuk DIPERCAYA dan DILAKUKAN ajarannya, bukannya menjadi bahan perdebatan atau malah dicarikan eksistensinya lalu menjadi sumber pertikaian dan peperangan. Oleh sebab itu, nenek moyang orang Jawa sudah membekali dirinya dengan pengetahuan tentang Dzat (kenyataan) Tertinggi serta tentang bagaimana bisa menemukan-Nya.

Ya. Orang Jawa di masa lalu telah percaya akan keberadaan suatu entitas yang tak kasat mata namun memiliki kekuatan Adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan dunia. Mereka tidak pernah menyembah selain kepada Tuhan Yang Maha Agung. Meskipun ia adalah seorang Dewa atau Bhatara sekalipun, semua itu tetaplah mereka anggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan tentunya tidak layak untuk disembah sebagaimana Dzat Yang Maha Kuasa sendiri. Tuhan-lah yang orang Jawa yakini dan mereka sembah, yang telah mereka pahami sebagaimana yang disebut kemudian dengan istilah Sang Hyang Taya.

Memang pada masa itu orang Jawa belum memiliki Kitab Suci, tetapi mereka telah memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran itu tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat). Kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) dan untuk menjadikan orang Jawa sebagai sosok yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji).

Karena itulah, masyarakat Jawa yang cair (ramah dan santun), juga menerima dengan baik ajaran agama yang dibawa oleh kaum migran (Hindu, Buddha, Islam, Nasrani dan lainnya) selama mempunyai konteks yang sama dengan ujung MONOTHEISME (Tuhan yang satu). Sebab inilah banyak agama yang dibawa kaum migran lalu memilih basis dakwahnya dari tanah Jawa.

Sungguh, leluhur Jawa dulu selalu melihat bahwa agama itu sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran mereka biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Mereka hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin. Simbol-simbol “laku” berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya itu menampakan kewingitan (wibawa magis), bukan inti ajarannya. Namun memang tidak bisa dipungkiri telah banyak orang (termasuk penghayat Kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan ajaran leluhur itu dengan praktik klenik dan perdukunan, padahal sikap itu tidak pernah ada dalam ajaran para leluhur dulu.

Kemudian jauh sebelum agama Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan – yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme. Agama ini adalah perkembangan dari ajaran dan prinsip keyakinan kepada Sang Hyang Taya sebelumnya. Dimana Kapitayan ini adalah suatu ajaran yang memuja sesembahan utama yang disebut Sang Hyang Taya, yang bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung atau Awang-uwung. Dia-lah Dzat Yang Maha Kuasa dan Pencipta segala sesuatu.

Perlu diketahui bahwa konsep Hyang adalah asli dari sistem kepercayaan masyarakat Nusantara, khususnya di tanah Jawa, bukan konsep yang berasal dari ajaran Hindu atau Buddha dari India. Kata Hyang dikenal dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda dan Bali sebagai suatu keberadaan kekuatan Adikodrati yang supranatural. Keberadaan spiritual ini bersifat Ilahiah yang mencipta, mengatur dan mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam jagat raya. Sesuatu Yang Absolut yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan (Niskala). Tidak bisa didekati dengan panca indera. Orang Jawa lalu mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam satu kalimat “Tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, agar bisa disembah, Sang Hyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang bermakna “daya gaib” yang bersifat Adikodrati.

Perlu diketahui juga bahwa TU atau TO adalah tunggal dalam Dzat, Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sang Hyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. TU yang bersifat Kebaikan disebut TU-han disebut dengan nama Sang Hyang Wenang. TU yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Hyang Manikmaya. Demikianlah, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sang Hyang Tunggal. Karena itu baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.

Lalu, oleh karena Sang Hyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sang Hyang Taya yang disebut TU atau TO itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama TU atau TO. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-TU, TU-gu, TU-lang, TU-nggul, TU-ak, TU-k, TU-ban, TU-mbak, TU-nggak, TU-lup, TU-rumbuhan, un-TU, pin-TU, TU-tud, TO-peng, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya. Dalam melakukan bhakti memuja Sang Hyang Taya, orang menyediakan sesaji berupa TU-mpeng, TU-mbal, TU-mbu, TU-kung, TU-d kepada Sang Hyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.


Kalau dalam Islam ada tingkatan-tingkatan ibadah seperti Syari’at, Thariqah, Hakikat dan Makrifat, maka di Kapitayan praktek di atas adalah proses ibadah tingkatan syari’at yang dilakukan oleh masyarakat awam kepada Sang Hyang Tunggal. Untuk para ‘ulama’-ulama’ sufi’ nya Kapitayan, mereka menyembah langsung kepada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan tertentu, pertama melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutuk(lubang) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud “menghadirkan’ Sang Hyang Taya di dalam Tutu-d (hati). Setelah merasa sudah bersemayam di hati, langkah selanjutnya adalah tangan diturunkan dan didekapkan di dada yang disebut swa-dingkep (memegang ke-aku-an diri).

Setelah dirasa cukup proses Tu-lajeg ini, kemudian dilanjutkan dengan Tu-ngkul (membungkuk menghadap ke bawah), lalu dilanjutkan lagi dengan Tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki), dilanjutkan proses terakhir yaitu To-ndhem (bersujud). Sedangkan tempat ibadahnya disebut Sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpak dengan lubang di dinding sebagai lambang kehampaan. Kalau Anda kesulitan membayangkan tempatnya, maka modelnya tidak jauh berbeda dengan langgar/musholla di desa-desa pada umumnya.


Untuk itu, seorang hamba pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap shaleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (TU-ah) dan yang bersifat negatif (TU-lah). Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-TU atau dha-TU (cikal bakal gelar Ratu dan Datu bagi para pemimpin kerajaan Nusantara).

Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-TU atau dha-TU, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut PI-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PI-tapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PI-ndodakakriya (nasi dan air), dan PI-sang. Jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut PI-tara. Sehingga seorang ra-TU atau dha-TU, adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sang Hyang Taya. Seorang ra-TU atau dha-TU adalah citra Pribadi Sang Hyang Tunggal.

Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di atas, kedudukan ra-TU dan dha-TU tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-TU atau dha-Tu dituntut keharusan secara fundamental untuk memiliki TU-ah dan TU-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya. Seorang ra-TU harus berjuang keras menunjukkan keunggulan TU-ah dan TU-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebutWisaya. Penguasa Wisaya diberi sebutan Raka. Seorang Raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-TU. Dengan demikian, ra-TU adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan Tu-ah dan TU-lah yang dimilikinya.

Tapi kemudian, pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan konsep ra-TU dan dha-TU, mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut oleh para pemuja Vishnu masuk ke Nusantara. Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan ditambah sistem kepewarisan tahta yang bersifat kewangsaan, telah memberi motivasi bagi raja-raja Nusantara yang awal untuk menganut Vaishnava. Hanya saja, sekalipun pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut oleh penguasa-penguasa di Nusantara, namun sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak dihilangkan. 

Keberadaan seorang raja atau maharaja misalnya, selalu ditandai oleh kedudukan ganda sebagai ra-TU atau dha-TU. Sehingga seorang raja, dipastikan memiliki tempat khusus yang disebut ‘keraton’ atau ‘kedhaton’ di samping bangsal dan puri. Selain itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-TU, TU-nggul, TU-mbak, TU-lang, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, dll. Karena memang dulu sistem kekuasaan di Nusantara mensyaratkan keberadaan ra-TU atau dha-TU dengan benda-benda yang ber-TU-ah.


pun berganti dan keadaan dunia juga berubah sangat drastis. Dan ironisnya agama Kapitayan sebagai tuan rumah pernah di tekan hebat oleh para tamunya. 

Contohnya ketika zaman kerajaan Kadhiri, penganut agama Hindu yang mampu merangkul penguasa saat itu menekan golongan Kapitayan sehingga mereka harus naik ke gunung Klothok dan gunung Wilis (artefak peninggalan Kapitayan banyak tersebar disana, sebagian dibawa kaum penjajah ke Leiden dan berkembang menjadi aliran kepercayaan Hasoko Jowo yang justru bermarkas di Leiden-Belanda sana). 

Lalu di zaman kerajaan Tumapel/Singosari kejadiannya pun sama, penganut agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok ini hingga mengungsi ke pesisir selatan tanah Jawa. Selanjutnya di zaman kerajaan Demak, penganur agama Islam  yang melakukan penetrasi bahkan hingga sekarang ini. Dan yang terakhir di zaman Kolonoial, penganut agama Nasrani mendapat tempat elite di sosial kemasyarakatan dan lainnya.

Sungguh, jika Anda mau bertanya seberapa ramah dan besarnya pengorbanan suatu peradaban menerima perobahan? Itu hanya milik peradaban tanah Jawa di Nusantara.
 Andai saja mereka bersikukuh pada keyakinannya dan mengabaikan nilai universal yang dipahaminya, saya amat yakin bahwa TIDAK AKAN ADA AJARAN AGAMA IMPORT BEGITU MUDAHNYA MASUK DI TANAH JAWA, bahkan tanpa pertumpahan darah. 

Justru yang belum yakin itulah yang bertanya dan kearifan tanah ini menjawab dengan bahasa semesta. 
Ketika agama Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita memiliki Borobudur yang dikagumi seluruh dunia dan dijadikan tempat pendidikan kelas dunia di masanya. 
Hal yang sama juga terjadi pada agama Hindu dengan candi Prambanan dan masyarakat Balinya. Kemudian agama Islam bahkan dengan pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Walisongo sebagai ulama kelas wahid di Asia Tenggara dan lainnya, dan kini timbullah dengan apa yang dikenal dunia kini dengan sebutan Islam Nusantara.


Tapi, ketika semua dijalankan dengan kaku dan harus seperti aslinya dimana agama itu diturunkan, maka terjadilah benturan yang nyata. Dan ketika ada orang yang menganggap adalah sempurna bila agama dijalankan sejurus dengan adat dimana ia diturunkan. Maka JAWABANNYA ADALAH SALAH BESAR, karena tata nilai agama itu bersifat universal, sedangkan adat dianugerahkan pada suatu komunitas dan kekhususan lokasi. Sehingga jangan mimpi untuk bisa hidup sempurna jika memaksakan sesuatu – terutama keyakinan – tanpa menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat. Sebab, getaran semestanya (nyata dan gaib) akan melawan dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang keliru dan bersikap tidak adil dan tidak bijaksana kepada sesama. Dan Tuhan itu adalah Sang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, lantas mengapa masih saja ada orang yang berani mengkerdilkan keperkasaan-Nya itu dengan mengatakan “Tuhan hanya paham bahasa atau cara kami saja”?. Sungguh aneh

“Akan tiba waktunya di tanah Nusantara ini bangkit kembali ajaran kuno yang pernah berjaya di masa silam. Bukan hanya di tanah Jawa, tetapi membawa pengaruh bagi seluruh dunia. Ajaran itu sangat indah karena di dalamnya terdapat aturan hidup yang menuhankan Tuhan Yang Satu, mengabdi kepada Dzat Yang Maha Mulia, dan tunduk hanya kepada Dia Yang Maha Kuasa. Sebagaimana yang telah dikabarkan di dalam kitab suci semua agama besar dunia”

Wahai saudaraku. Semoga kita tetap bisa menjadi pribadi yang tidak berpikiran picik atau fanatik yang buta, karena itu hanya akan menyusahkan. Bahkan jika terus dipertahankan, maka kehidupan pun akan semakin kacau, karena kepicikan dan fanatik itu sendiri adalah sumber dari kebodohan. Bersikaplah bijaksana disertai hati yang lapang, dengan begitu tujuan hidup di dunia akan tercapai.


----------------------------------------------------------------------
terlepas mengenai perbedaan pendapat, semua kembali pada kebijaksanaan anda, mengambil sudut pandang terbaik bagi diri anda. kebenaran sejati bukanlah milik manusia, terciptanya berbagai suku suku bangsa dengan keragaman kepercayaan dan adat istiadat, adalah agar kita saling mengenal dan menghormati.
----------------------------------------------------------------------












----------------------------------------------------------------------------
source:
http://lensa-nws.blogspot.com/2016/10/utusan-ke-9-setelah-nabi-adam-adalah.html?m=1
https://kanzunqalam.com/2015/12/01/misteri-ajaran-kapitayan-jejak-monotheisme-nabi-nuh-dalam-keyakinan-purba-masyarakat-nusantara/
http://lensa-nws.blogspot.com/2016/10/umat-karahingan-ingin-keluar-dari.html?m=1
http://www.aman.or.id/2018/10/majelis-agama-kaharingan-indonesia-mendatangi-komnas-ham-komnas-perempuan/
http://lensa-nws.blogspot.com/2016/10/kapitayan-adalah-bukti-seorang-nabi.html







Kamis, 13 Februari 2020

Perjalanan napak tilas januari 2020 museum keraton surakarta dan candi prambanan












GAMBAR / FOTO BERBICARA




NAPAK TILAS SEJARAH 
Doc foto : SkyWatcher FE - Truthseeker
Lokasi : museum Surakarta & Candi prambanan - jawa tengah /11-12 Jan 2020
Narasi : Nusantara-Raya
-----------------------------------------------------------------------------------------------


MUSEUM KERATON SURAKARTA

Banyak pengaruh besar terjadi ketika setelah terbentuk VOC sunda kelapa.
Terutama keanehan pada para raja rajanya.
Semasa Paku Buwana II-IV hampir tidak ada ditemukan informasi disini,entah juga ya kalau orang dalam keraton Solo.
Nah,PB-V hingga sekarang ,jelas sekali pengaruh belanda nya terhadap kebudayaan asli lokal.
Mengenai belanda ,atau penjajah eropa lain akan dibahas dalam bab lain.

LESUNG

BIASA DIGUNAKAN UNTUK MENUMBUK REMPAH / OBAT OBATAN

INI PERUNGGU - DANDANG GEDE, PERTANDA KEBERSAMAAN

BAHAN KERAMIK DARI TANAH LIAT


kunjungi juga link CIRI WILAYAH KEKUASAAN FIRAUN (new tab)
klik disini: https://hyperthink-nusantara.blogspot.com/2019/12/ciri-wilayah-kekuasaan-firaun.html



AKSESORIS KEPALA DAN EKOR JANGKAR KAPAL

KEMUDI KAPAL LAYAR / MIRIP DAYUNG ,TAPI INI BESAR SEKALI


kunjungi juga link artikel tentang kebesaran/kejayaan KAPAL JUNG/JONG JAVA
klik disini: https://hyperthink-nusantara.blogspot.com/2020/01/kapal-jungjong-jawa.html



MERIAM ERA - VOC

RAGAM SENJATA YANG MASIH DIPAKAI DI DUNIA PERSILATAN

SENJATA ERA PENDUDUKAN EROPA/INGGRIS/BELANDA / NAMUN PADA ARTIKEL LAIN AKAN ADA MATERI TENTANG BANGSA MELAYU YANG TELAH PANDAI MEMBUAT SENJATA/SENAPAN

INI BIASANYA UNTUK ANGKUT SESAJI - ATAU "SEDEKAH BUMI" ISTILAH MENURUT KAMI, NGOMONG NGOMONG KOK MIRIP TABUT YA..

KERETA KUDA/DOKAR / ANDONG/DELMAN

KERETA KUDA/DOKAR / ANDONG/DELMAN - BERAT,HARUS DITARIK MINIMAL 4KUDA 

PERLENGKAPAN SHOLAT JUMAT
NAH INI AKSARA ARAB PEGON







LIHAT MODEL UJUNG TOMBAKNYA, SAMA FUNGSINYA DENGAN SENJATA ALA PEDANG ZULFIKAR


INI PIPA ROKOK /TEMPAT ROKOK RAKSASA

PERLENGKAPAN BUSANA


KALAU INI UNTUK ORANG BANGSAWAN - KERATON

KERBAU BULE ,ADALAH KERBAU PUSAKA KERATON

KEPALA KERBAU BULE

MODEL PANAHNYA MIRIP DALAM HIKAYAT/KISAH ISLAM, BENTUKNYA SEDERHANA


https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/mengenal-sejarah-seni-dan-tradisi-solo-di-museum-keraton-surakarta?fbclid=IwAR3Jsk5SeEZ8WyWH0PbOBVPXIPzQDFMTMF2tPYqB05DKt3MviAkqEDpPVck
--------------------------------------------------------------------------------------

Mengenal Sejarah, Seni, dan Tradisi Solo di Museum Keraton Surakarta

Ada 13 ruang di museum ini. Masing-masing ruang memamerkan jenis koleksi yang berbeda. Ruang pertama memamerkan foto-foto raja yang pernah berkuasa di Surakarta. Selain itu, ada pula beberapa kursi peninggalan Pakubuwono IV serta beberapa lemari yang dihiasi ukiran yang indah.

Ruang kedua adalah ruang arca. Sisi-sisi ruang ini dihiasi lemari berlapis kaca yang memamerkan arca perunggu seperti Buddha, Buddha Avalokiteswara, serta berbagai alat upacara. Koleksi lain yang juga ada di ruang ini adalah arca batu peninggalan zaman purbakala.

Ruang ketiga menyimpan patung kuda milik pasukan keraton. Patung kuda di sini terbuat dari kayu dan lengkap dengan pakaiannya. Beralih ke ruang selanjutnya adalah ruang pengantin keraton. Di ruang ini, terdapat diorama yang dibuat pada masa Pakubuwono X. Diorama ini merupakan adegan pernikahan pengantin Jawa. Selain itu, pada dinding, juga terdapat relief yang menceritakan prosesi adat pernikahan Keraton Surakarta.

Ruang berikutnya adalah ruang kesenian rakyat. Di ruang ini, dipamerkan berbagai alat kesenian yang berkembang di Solo, seperti wayang kulit, klenengan, serta jaran kepang. Ruang keenam menyimpan berbagai jenis topeng. Topeng-topeng ini merupakan topeng yang digunakan dalam tari topeng – yang mengambil cerita dari Panji Inukertapati, Asmarabangun, Dewi Galuh Candrakirana, dan Klana.

Ruang ketujuh memamerkan berbagai alat upacara yang biasa dipakai oleh masyarakat dan anggota keraton Surakarta. Alat-alat yang disimpan di ruang ini antara lain bokor, kendi, tampan, sumbul, kencohan, dan perhiasan. Di ruang ini juga terdapat sebuah payung bersusun tiga yang pernah digunakan dalam upacara khitanan Pakubuwono IV.

Berikutnya adalah ruang alat angkut tradisional Keraton Surakarta. Alat angkut tradisional yang digunakan merupakan alat angkut yang diangkat oleh beberapa orang abdi dalem keraton. Ada beberapa alat angkut yang digunakan, yaitu tandu (biasa disebut “joli jempono”) digunakan oleh putri raja saat jadi pengantin atau bepergian, kremun digunakan untuk mengangkut peralatan keraton, jolen yang digunakan untuk mengangkut benda sakral, dan gawangan yang digunakan untuk menggantungkan sesaji.

Selanjutnya adalah ruang kereta raja. Di ruang ini, dipamerkan sejumlah koleksi kereta raja, seperti Kereta Kyai Garuda (persembahan VOC kepada Pakubuwono II pada tahun 1726), Kereta Kyai Garuda Putra (kereta yang digunakan dari masa Pakubuwono VII sampai Pakubuwono X), dan Kereta Kyai Morosebo (kereta kerajaan yang dipakai oleh Pakubuwono III).

Ruang kesepuluh adalah ruang kuda untuk berburu. Di dalam ruang ini, terdapat diorama yang menceritakan pertemuan Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro. Pertemuan tersebut berlangsung saat meletusnya Perang Jawa (1825-1830). Selanjutnya adalah ruang senjata yang menyimpan berbagai senjata seperti bedil, pedang, perisai, keris, panah, dan pelana kuda.

Masuk ke ruang berikutnya, dapat ditemukan sebuah patung Rojomolo. Patung Rojomolo merupakan patung kepala raksasa penguasa laut yang dipasang sebagai hiasan perahu yang digunakan Pakubuwono IV. Di Solo, ada dua patung Rojomolo. Patung yang satu lagi disimpan di Museum Radya Pustaka. Selain itu, di ruang ini, terdapat pula berbagai maket rumah Jawa, mulai dari yang bergaya limasan, gaya kampong, dan lainnya.

Terakhir adalah ruang alat perlengkapan rumah dan dapur. Di ruang ini, dipamerkan sejumlah keramik porselin kuno yang dulu menjadi perlengkapan rumah tangga dan dapur. Selain itu, juga terdapat alat menanak nasi yang digunakan oleh para tentara saat sedang berperang.

Di tengah bangunan museum, terdapat sebuah taman. Di sekitar area taman, terdapat beberapa patung malaikat. Selain itu, ada pula sebuah kayu besar yang dinamakan Kayu Jati Kyai Dhanalaya. Kayu ini merupakan bagian yang tersisa dari pohon yang ditebang Pakubuwono V saat akan membuat patung Rojomolo. Di dekat kayu besar ini, juga dapat ditemukan sebuah sumber mata air. Sumber mata air ini merupakan tempat persemedian Pakubuwono IX. Pengunjung biasanya mencuci muka mereka di sumber mata air ini, berharap mendapat berkah atau mendapat kemudaan.












INI PRASASTI LOGAM,HURUF JAWA SEMACAM PALLAWA,SAYANG SEKALI SUDAH TIDAK BEGITU JELAS

REPLIKA ALAT UPACARA KEAGAMAAN

INI ADALAH WAYANG BEBER, ASLINYA BERASAL DARI JATIM

PEMAIN MUSIK DAN DALANG BERJUMLAH HANYA 5 ORANG, DAN ADA SIMBOL FILOSOFINYA

JADI SEJAK DULU, DOKTRIN PAGAN PLUS BUMI GLOBE SUDAH DISUSUPKAN KE SIMBOL LOKAL




MASIH RAGU SENJATA ERA VOC ATAU YANG MIRIP TURKI USTMANI ITU


COBA PERHATIKAN  - MIRIP ORANG TURKI USTMANI
INI SERAGAM PRAJURIT ATAS MASUKNYA PENGARUH EROPA, MULAI VOC HINGGA KOLONIAL, TETAPI APAKAH BENAR ATAS PENGARUH MASUKNYA EROPA?  


untuk itu kunjungi pula artikel Baju Besi Zaman Kerajaan di Pulau Jawa | Baju Zirah yang Terlupakan
klik di sini: https://hyperthink-nusantara.blogspot.com/2019/12/baju-besi-zaman-kerajaan-di-pulau-jawa.html



YANG ANEH, INI ADALAH PARA PENGAWAL PUTRI KERATON

NYAMAN SEKALI PEMANGKU KERAJAAN DUDUK BERSAMA BELANDA, NAH KHUSUS LAKI-LAKI PADAHAL JIKA INI ADALAH RAKYAT DAN MELAWAN LANGSUNG DIJADIKAN BUDAK ATAU DIBUNUH.
-------------------------------------------------------------------------------------
CANDI PRAMBANAN


PRAMBANAN DAN PUING2 CANDI SEWU, YANG ENTAH KENAPA HANCUR (kabarnya kena gempa), NAMUN YANG TENGAH MASIH BERDIRI KOKOH, DAN BILAPUN TELAH MELALUI PEMUGARAN SIAPA YANG PEGANG RANCANGAN ARSITEKTUR NYA, SEHINGGA BISA DISUSUN SEPERTI ASLINYA.
Kunjungi juga petunjuk tentang borobudur yang tdk sama (tdk seperti aslinya) aslinya setelah pemugaran.
di link berikut: (link akan terbuka di new tab)
https://hyperthink-nusantara.blogspot.com/2019/12/clue-foto-borobudur-tempoe-doeloe.html

namun demikian,menurut saya, prambanan dan borobudur masih memiliki sebagian besar arsitektur aslinya.




SALAH SATU RELIEF, SIVA NAIK LEMBU ( nandi )

ADA GAMBAR BABI JUGA DISINI
kunjungi pula link artikel tentang babi dan larangan memakan darah dan bangkai di link berikut:
( link akan terbuka di new tab )

1.   perintah haram memakan babi: https://hyperthink-nusantara.blogspot.com/2019/12/seri-mengungkap-konspirasi-perintah.html

     DAN

2.  perintah haram makan darah dan bangkai:  https://hyperthink-nusantara.blogspot.com/2019/12/perintah-haram-untuk-makan-darah-bangkai.html


SIWA MAHADEWA

GANESHA

AGASTYA , NAMA LAIN SIWA KETIKA MASIH MENGEMBARA (membawa tongkat apa ya 😊😊)

BATARI DURGA (istri siwa) SIMBOL PEPERANGAN

SANG WISHNU

PLAFON / ATAP  BAGIAN DALAM CANDI

LEMBU NANDI ,DI SEBELAH KANAN KIRINYA TERDAPAT SIMBOL SUN-MOON

SIMBOL SUN: SURYA/MATAHARI

SIMBOL MOON: CANDRA/BULAN

BRAHMA ( sayangnya tunggangan angsa telah di ambil dari tempatnya )

ARSITEKTUR CANDI YANG SANGAT DETAIL SEKALI ,DAN SAMA KELOMPOK UKURAN KOMPOSISINYA










------------------------------------------------
berikut....
sekilas karya budaya yang coba dilestarikan para generasi penerus bangsa.






--------------------------------------------------------------------------------------------------------


kunjungi link DAFTAR ISI kami agar lebih mudah mendapatkan judul lain yang menarik.