===============================================

Di buat sebagai sarana DATABASE bersama

Anggaplah informasi di artikel ini sebagai kepingan Petunjuk

Bisa jadi alur kisah tidak sempurna,karena petunjuknya belumlah terlengkapi

Atau mungkin kepingan dan petunjuk yang lain itu anda yang punya

mari berbagi informasi dan anda bisa berbagi di kolom komentar

Terima Kasih

===============================================

Senin, 13 Januari 2020

Kapal Jung/Jong Jawa

Mengenang Kehebatan Jung Jawa, Kapal Penguasa Perdagangan Dunia yang Dilupakan Indonesia





Sebuah ungkapan yang berbunyi: “nenek moyangku seorang pelaut.” bukanlah isapan jempol belaka. Orang Indonesia di masa lalu adalah seorang pelaut yang andal terutama untuk perdagangan dan juga perang. Bahkan jauh sebelum kapal dagang Eropa datang ke Indonesia, negeri ini sudah menguasai jalur perdagangan rempah dan melakukan transaksi hingga ke Tanjung Harapan yang letaknya sangat jauh dari Indonesia.

Mereka menaiki kapal dagang besar yang memiliki desain sangat hebat. Kapal yang memiliki sebutan Jung Jawa ini berhasil membawa bangsa ini menjadi pedagang yang hebat sehingga dicatat oleh beberapa penulis di dunia sebagai kapal yang mengagumkan. Sayangnya, sejak kolonialisasi masuk negeri ini, keberadaan Jung Jawa langsung hilang ditelan bumi.

Mari sejenak mengenang kehebatan Jung Jawa yang merupakan penguasa perdagangan rempah di masa lalu.



Teknologi Hebat Sebelum Tiongkok Mampu Membuatnya

Tidak bisa dimungkiri lagi kalau Tiongkok adalah bangsa yang sudah mendalami pembuatan kapal layar di masa lalu. Bahkan 5 abad sebelum orang di Nusantara membuatnya, negeri tirai bambu itu sudah memiliki banyak sekali jenis kapal untuk perang atau perdagangan. Meski kalah jauh dari Tiongkok, bangsa Indonesia di masa lalu justru membuat kapal yang jauh lebih modern.


Mengendalikan Perdagangan Rempah Dunia

Pelaut kawasan Indonesia dan Asia Tenggara sudah banyak menggunakan Jung Jawa di Abad ke-16. Hal ini bisa terlihat dari laporan bangsa Portugis yang mulai memasuki Indonesia untuk mendapatkan komoditas rempah unggulan yang harganya bisa melebihi harga dari emas di kawasan Eropa.




Saat Portugis memasuki Indonesia, kapal dagangan itu telah menguasai banyak wilayah. Bahkan komoditas di kawasan Maluku, Malaka, Jawa, dan sekitarnya sudah diperdagangkan ke banyak wilayah di dunia. Bahkan banyak dari pelaut negeri ini yang akhirnya menetap di negara yang mereka datangi seperti Madagaskar yang terletak jauh di selatan Afrika atau dekat dengan Tanjung Harapan.

Jung Jawa Sudah Ada Sejak Abad ke-8




Kapal Jung Jawa mulai dibuat dan menguasai banyak sektor perdagangan di Indonesia sejak abad ke-8 Masehi. Sebelumnya, bangsa ini menggunakan kapal Borobudur yang reliefnya terlihat di candi terbesar di Indonesia itu. Bukti yang terlihat di candi Borobudur menunjukkan bahwa bangsa ini mampu membuat kapal dengan baik di masa lalu. Bahkan saat teknologi masih belum canggih, eksistensi kapal di Indonesia sudah semakin banyak.

Jung Jawa adalah salah satu bukti kehebatan Indonesia. Tanpa adanya kapal ini, perdagangan dan hubungan politik dengan negara lain tidak akan bisa terjadi. Itulah mengapa, kapal Jung Jawa di masa lalu selalu menjadi andalan banyak pihak. Bahkan kerajaan di Nusantara pasti memilikinya barang cuma 1-2 buah saja.

Jung Jawa yang Hilang dari Sejarah

Seiring berkembangnya waktu, keberadaan kapal Jung Jawa semakin habis, bahkan tidak dibuat lagi. Faktor utama yang menyebabkan kenapa Jung Jawa tidak diproduksi lagi adalah masuknya penjajah ke negeri ini. Saat Belanda menguasai Indonesia tentu semua galangan kapal dikuasai dan digunakan untuk kepentingan perdagangan mereka sendiri.

Praktis sejak abad ke-17 keberadaan Kapal Jung Jawa hanya tinggal sisanya saja. Belanda membuat negeri ini mengalami kemunduran di segala sektor termasuk perkapalan dan juga perdagangan. Sektor penting itu dikuasai secara mutlak sehingga bangsa ini hanya mampu mengelus dada hingga akhirnya kemerdekaan tiba di tahun 1945.
Demikianlah ulasan singkat tentang kapal Jung Jawa yang sempat menjadi penguasa perdagangan dunia. Semoga di era modern, kemaritiman Indonesia bisa kembali ditingkatkan agar kembali menjadi penguasa lautan.








==================================================




=================================================


Legenda Kapal Jung Jawa, Pernah Mendominasi Perairan Asia Tenggara

Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah-rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka.

Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa. Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik -belakangan disebut sebagai "Kapal Borobudur".

“Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang China lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa yang dahulu berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan Madagaskar, di mana sekarang banyak dijumpai penduduk asli Madagaskar yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa."

Demikian tulis Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit 1645. Bahkan, pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 itu menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar. Dia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa. "Mereka mengaku keturunan Jawa," kata Couto, sebagaimana dikutip Anthony Reid dalam buku Sejarah Modern Awal Asia Tenggara.

Gambaran tentang kapal Jung Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal usul kapal-kapal Jung terbesar. Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis.

Disebutkan, secara umum Jung Jawa memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot Jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis. Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisa dikatakan, kapal Jung Jawa ini dapat disandingkan dengan kapal induk di era modern sekarang ini.

"Anunciada (kapal Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa." tulis pelaut Portugis Tome Pires dalam Summa Oriental (1515). Hanya saja kapal Jung Jawa raksasa ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dengan kapal-kapal Portugis yang lebih ramping dan lincah. Armada Portugis pun mampu menghalau kapal-kapal Jung Jawa dari perairan Malaka.

Menurut catatan para penulis Portugis, Jong disebut dengan Junco. Sedangkan para penulis Italia menyebut dengan istilah Zonchi. Istilah Jung dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odrico, Jonhan de Marignolli.
Secara umum, kapal Jung memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan jenis-jenis kapal Portugis. Dinding kapal Jung terbuat dari 4 lapis papan tebal, (Paul Michel Munoz, 2009: 396-397). Kapal Jung juga memiliki dua dayung kemudi besar di kedua buritan. Kedua dayung kemudi itu hanya bisa dihancurkan dengan meriam. Dinding kapal Jung mampu menahan tembakan meriam kapal-kapal Portugis yang mengepungnya dalam jarak yang sangat dekat, (Robert Dick-Reid, 2008: 69).

Kapal jung Melayu dan Jawa sering mengangkut dagangan seberat 350 hingga 500 ton dengan beberapa ratus orang, termasuk awak kapal dan sejumlah pedagang kecil. Barang dagangan diletakkan di bawah dek dalam petak-petak khusus yang disekat oleh dinding anyaman bambu.

Konstruksi kapal Jung Jawa dibuat dengan sistem dasar jalinan papan. Kapal ini dibuat tanpa menggunakan paku besi. Papan-papan disatukan dengan pasak kayu. Kerangka kapal dipasak agar membentuk rangka kuat. Kapal menggunakan layar segi empat yang terbuat dari serat tumbuhan, dengan ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip.

Satu sifat khas lain warisan perahu sebelumnya adalah pelapisan lambung kapal dengan papan. Saat satu lapis papan mulai rapuh, bagian yang rapuh tersebut akan dilapis oleh jalinan satu atau dua lapisan papan baru.
Ukuran kapal Jung menurut catatan Tome Pires dan Gaspar Correia sangat besar. Menurut Tome Pires, kapal Jung tidak dapat merapat ke dermaga karena ukurannya yang besar. Perlu ada kapal kecil yang diperlukan untuk memuat atau membongkar muatannya.

Menurut Gaspar Correia, Jong memiliki ukuran melebihi kapal Flor de La Mar, kapal Portugis yang tertinggi dan terbesar tahun 1511-1512. Menurut Gaspar Correia pula, bagian belakang kapal Flor de La Mar yang sangat tinggi, tidak dapat mencapai jembatan kapal yang berada di bawah geladak kapal Jung.

Saat menyerang Malaka, Portugis dicatat menggunakan 40 buah kapal menurut Hikayat Hang Tuah, atau 43 buah kapal menurut Sejarah Melayu. Setiap kapal mampu mengangkut 500 pasukan dan 50 unit meriam. Jadi saat menyerang Malaka Portugis mengerahkan pasukan sebanyak 20.000 – 21.500 personel. Kapal Flor de La Mar dicatat memiliki ukuran di atas kapal-kapal itu.

Menurut Irawan Djoko Nugroho Irawan dalam buku Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti, 2012, kapal Jung memiliki ukuran panjang, lebar, dan tinggi 4-5 kali kapal Flor de la Mar. Dengan kata lain panjang Jung Jawa sekitar 313,2 – 391,5 meter. Hal ini karena kapal Flor de La Mar diperkirakan memiliki panjang 78,30 meter dan kapal-kapal yang menyerang Malaka menurut Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu memiliki ukuran panjang 69 meter, (Irawan Djoko Nugroho, 2011: 304-307).

Teknik pembuatan kapal hingga sekarang masih menjadi misteri, seperti teknik sambung apa yang digunakan sehingga kapal Jung tahan tembakan meriam. Selain itu, bahan apa yang digunakan untuk merapatkan kayu, sehingga kapal Jung aman dari merembesnya air. Juga bagaimana operational maintenance kapal Jung itu karena sifat kapal yang dapat di-knock down. (-Bersambung)

Diolah dari berbagai sumber:
suluhnuswantarabakti.org
ahmadsamantho.wordpress.com
wikipedia

====================================================


Menguak Misteri “Jung Jawa”, Kapal Hebat Nusantara Yang Bikin Bangsa Lain Takjub

Indonesia atau kita kenal dengan Nusantara di masa lampau, memang merupakan negara kepulauan yang dikelilingi lautan luas. Kondisi ini membuat Bangsa Indonesia sejak dahulu kala dikenal sebagai pelaut handal.

Bahkan ternyata, sebuah catatan sejarah mencatat, bahwa para penjelalah samudra asal Nusantara sudah melintasi sepertiga bola dunia, jauh sebelum era Laksamana Cheng Ho dan Columbus.

Walaupun dari penelitian, orang –orang Tionghoa sudah melaut 500 tahun sebelum Masehi, dengan mengembangkan berbagai jenis kapal. Namun hingga abad VII peran mereka sangat kecil dalam dunia pelayaran di laut lepas.

Seperti dilansir dari laman Goodnewsfromindonesia.id, kehandalan nenek moyang kita terungkap melalui catatan keagamaan I-Tsing (671-695M), dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan.

Catatan tersebut meyebutkan, bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang saat itu menjadi penguasa lalu lintas laut, di perairan selatan.

Bukti lain juga diungkap oleh seorang pelaut asal Portugis, Diego de Couto. Dalam buku Da Asia, yang terbit pada 1645, ia menceritakan bagamaina kehebatan para pelaut Jawa.

“Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa yang dahulu berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan Madagaskar, dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli Madagaskar yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa.”

Demikian tulis Diego dalam buku tersebut.

Bahkan para pelaut Portugis yang dikenal sebagai penjelajah pada masa itu, menyebutkan bahwa di awal abad ke-16, orang Jawa lah yang terlebih dahulu bisa berlayar sampai Tanjung Harapan (Afrika) dan Madagaskar.

Mereka mendapati peduduk Tanjung Harapan saat itu berkulit coklat (sawo matang) seperti orang Jawa pada umumnya.

“Mereka mengaku keturunan Jawa,” kata Couto, sebagaimana dikutip Anthony Reid dalam buku Sejarah Modern Awal Asia Tenggara.

Lalu apa yang membuat pejuang –pejuang lautan dari Nusantara bisa begitu jauh dan tangguh dalam mengarungi samudra di muka bumi ini?



Kehandalan Jung Jawa 

Mungkin jawabannya adalah Kapal Jung Jawa. Konon kapal tangguh yang hingga sekarang masih menjadi misteri tersebut, adalah kendaraan khas orang –orang Nusantara ketika menjelajah lautan.
Misteri Kapal Perang Nusantara ini sendiri sedikit terungkap dari catatan para pelaut Portugis yang sudah mencapai wilayah Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an. Saat itu mereka mendapat kawasan ini didominasi dengan kapal Jung Jawa.
Kapal tersebut dipergunakan para orang Jawa Pesisir untuk bisa melintasi jalur rempah –rempah yang sangat penting saat itu. Jalur rempah tersebut membentang antara Maluku-Jawa-Malaka. Sebagai kota pelabuhan, kala itu otomatis Malaka dikuasai oleh orang Jawa.
Bukan hanya berkunjung atau tansit, orang Jawa disana banyak yang menetap sekaligus menjadi regulator perdagangan internasional.
Mungkin jawabannya adalah Kapal Jung Jawa. Konon kapal tangguh yang hingga sekarang masih menjadi misteri tersebut, adalah kendaraan khas orang –orang Nusantara ketika menjelajah lautan.

Misteri Kapal Perang Nusantara ini sendiri sedikit terungkap dari catatan para pelaut Portugis yang sudah mencapai wilayah Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an. Saat itu mereka mendapat kawasan ini didominasi dengan kapal Jung Jawa.

Kapal tersebut dipergunakan para orang Jawa Pesisir untuk bisa melintasi jalur rempah –rempah yang sangat penting saat itu. Jalur rempah tersebut membentang antara Maluku-Jawa-Malaka. Sebagai kota pelabuhan, kala itu otomatis Malaka dikuasai oleh orang Jawa.

Bukan hanya berkunjung atau tansit, orang Jawa disana banyak yang menetap sekaligus menjadi regulator perdagangan internasional.


Relief ini pula yang membuktikan bahwa sejak lama leluhur kita memang sudah menguasai teknik pembuatan kapal tingkat tinggi. Kapal Borobudur juga telah memiliki peran besar dalam berbagai pelayaran di perairan Jawa, selama beberapa abad, sebelum digantikan oleh Jung Jawa.

Dengan tiga atau empat layar sebagai Jung. Kata ‘Jung’ digunakan pertama kali dalam perjalanan biksu Odrico jurnal, Jonhan de Marignolli, dan Ibnu Battuta berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14.

Mereka memuji kehebatan Kapal Jung Jawa raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara. Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dari karya kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku.

Disebutkan, jung Nusantara memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal-kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis.

Kapal Jung Jawa terbesar dari Kerajaan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Nusantara untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisa dikatakan, kapal jung Nusantara ini disandingkan dengan kapal induk di era modern sekarang ini.

Teknologi Kuno Bangsa Indonesia yang Canggih – Di zaman dahulu kala, para nenek moyang kita sudah menemukan banyak penemuan yang terbilang canggih.

Menghilangnya Jung Jawa dari Nusantara


Tetapi sayang sekali banyak orang Indonesia sendiri tidak menyadarinya. Hilangnya Kapal Jung Jawa Dari Sejarah Indonesia Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa.

Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau.

Diperkirakan Jung Jawa menghilang dari jejak perairan Nusantara, karena adanya invasi besar -besaran Belanda dengan VOC nya dan juga keengganan para Raja penguasa Jawa dalam memaksimalkan perdagangan daerah pesisir kala itu.

=========================================


Kapal Jung Jawa 2,2-2,8 Kali Lipat Dari Kapal Pusaka Cheng Ho


Jong adalah sebuah kata Jawa Kuno yang berarti sebangsa perahu (P.J. Zoetmulder, 1995: 427). Dalam khazanah Melayu, kata Jong disebut juga dengan istilah Jung (SM.V: 47 dan SM. X: 77). Menurut khazanah Melayu pula, Jong adalah kapal yang hanya dimiliki oleh Jawa (HRRP: 95, HHT: XII: 228). Keterangan ini sangat berbeda dengan keterangan sejarawan Eropa umumnya. Mereka menyebut kapal-kapal Cina juga dengan istilah jung. Para sejarawan Eropa dan nasional menengarai kapal-kapal Majapahit dalam beberapa penelitian, menggunakan cadik sebagaimana kapal Borobudur.

Di dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_jung disebutkan bila pada abad ke-15 hingga ke-16 kapal Jung tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Keterangan itu tidak sepenuhnya tepat. Para pelaut Melayu menggunakan kapal Jung dicatat dalam Hikayat Hang Tuah setelah Putri Raja Majapahit menikah dengan Sultan Malaka. Kapal yang dimilikinya pun hanya 1. Kapal yang digunakan pelaut Melayu adalah kapal Ghali atau Galleon. Sedangkan kapal yang digunakan pelaut Cina dalam catatan Melayu baik Sejarah Melayu dan Hikayat Banjar adalah Pilu dan Wangkang.

Menurut catatan para penulis Portugis, Jong disebut dengan Junco. Sedangkan para penulis Italia menyebut dengan istilah zonchi. Istilah jung dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odrico, Jonhan de Marignolli (http://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_jung).

Secara umum, kapal Junco merupakan sebuah kapal yang memiliki 4 tiang. Kapal Junco memiliki bentuk yang sangat berbeda dengan jenis-jenis kapal Portugis umumnya. Dinding Jong terbuat dari 4 lapis papan tebal, (Paul Michel Munoz, 2009: 396-397). Kapal Jong juga memiliki dua dayung kemudi besar di kedua buritan kapal. Kedua dayung kemudi itu hanya bisa dihancurkan dengan meriam. Dinding Jong mampu menahan tembakan meriam kapal-kapal Portugis yang mengepungnya dalam jarak yang sangat dekat, (Robert Dick-Reid, 2008: 69).

Dimensi Jong Jawa
Ukuran Jong menurut catatan Tome Pires dan Gaspar Correia sangat besar. Menurut Tome Pires, kapal Jong tidak dapat merapat ke dermaga karena besarnya. Perlu ada kapal kecil yang diperlukan untuk memuat atau membongkar muatannya. Menurut Gaspar Correia, Jong memiliki ukuran melebihi kapal Flor de La Mar, kapal Portugis yang tertinggi dan terbesar tahun 1511-1512. Menurut Gaspar Correia pula, bagian belakang kapal Flor de La Mar yang sangat tinggi, tidak dapat mencapai jembatan kapal yang berada dibawah geladak kapal Junco.

Saat menyerang Malaka, Portugis dicatat menggunakan 40 buah kapal menurut Hikayat Hang Tuah, atau 43 buah kapal menurut Sejarah Melayu. Setiap kapal mampu mengangkut 500 pasukan dan 50 buah meriam. Dengan demikian saat menyerang Malaka Portugis mengerahkan pasukan sebanyak 20.000 – 21.500 pasukan. Kapal Flor de La Mar dicatat memiliki ukuran di atas kapal-kapal itu.

Menurut Irawan Djoko Nugroho, kapal Junco memiliki ukuran panjang, lebar dan tinggi 4-5 kali kapal Flor de la Mar. Dengan kata lain panjang Junco Jawa adalah 313,2 m – 391,5 m. Hal ini karena kapal Flor de La Mar diperkirakan memiliki panjang 78,30 m dan kapal-kapal yang menyerang Malaka menurut Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu memiliki ukuran panjang 69 meter, (Irawan Djoko Nugroho, 2011: 304-307).

Kapal Jong atau Jung atau Junco merupakan kapal kayu operasional terbesar dunia hingga abad ke 20 awal, bahkan hingga saat ini. Kapal terbesar Amerika Serikat pada abad ke-19 bernama Great Republik pun hanya mampu dibuat sepanjang 100,5 m (John R. Hale, 1984: 86). Tehnologi kapal ini hingga kini menjadi misteri. Seperti misalnya: tehnik sambung seperti apa yang digunakan sehingga kapal Jong tahan akan tembakan meriam. Selain itu, bahan apa yang digunakan untuk merapatkan kayu sehingga kapal Jong aman dari merembesnya air. Juga seperti apa operational maintenance kapal Jong itu karena sifat kapal yang dapat di knock down.

Fungsi Jong Jawa
Kapal Jong Jawa adalah kapal dagang dan dapat digunakan sebagai kapal angkut militer. Kapal ini merupakan kapal utama pengangkut perdagangan hingga abad ke-16. Menurut catatan Duarte Barosa, kapal Jong Jawa ini membawa barang perdagangan seluruh Asia Tenggara dan Asia Timur untuk diperdagangkan hingga ke Asia Barat (Arab). Dari Arab, barang dagangan tersebut disebarkan ke Eropa, ((Paul Michel Munoz, 2009: 396-397).

Rute perdagangan ke Asia Barat yang dilalui Jong Jawa menurut Duarte Barosa adalah Tenasserim, Pegu, Bengal, Palicat, Coromandel, Malabar, Cambay, dan Aden, (Paul Michel Munoz, 2009: 396-397). Barang dagangan yang dibawa Jong Jawa menurut Duarte Barosa pula, diantaranya adalah: beras, daging sapi, kambing, babi, dan menjangan yang dikeringkan dan diasinkan, ayam, bawang putih, dan bawang merah, senjata seperti tombak, belati, dan pedang-pedang yang dibuat dari campuran logam dan terbuat dari baja yang sangat bagus, pewarna kuning atau cazumba (Kasumba),  emas, lada, sutra, kemenyan, kamper serta kayu gaharu.

Perbandingan Kapal Jong Jawa dengan Kapal Pusaka Cheng Ho
Dalam Sejarah Dinasti Ming Kapal Pusaka, Kapal yang dinaiki Cheng Ho dicatat memiliki panjang 138 meter dan lebarnya sekitar 56 meter (http://muslimdaily.net/artikel/home/laksamana-cheng-ho—penjelajah-muslim-dari-tiongkok.html#.UuIlcNL-Jko). Jika dibandingkan dengan kapal Jong Jawa, kapal Pusaka Cheng Ho tidak ada apa-apanya. Kapal Jong Jawa 2,2-2,8 kali lebih besar dari Kapal Pusaka Cheng Ho. Kapal Pusaka Cheng Ho pun hanya 1 buah. Sedangkan Kapal Jong Jawa yang dimiliki Majapahit sebanyak 400 buah.

Berbeda dengan Kapal Pusaka Cheng Ho yang hilang sebelum kedatangan Portugis, Kapal Jong Jawa tetap berlayar hingga Jaman Portugis. Hilangnya Kapal Jong Jawa karena politik Isolasi Diri masa Mataram.

Meluruskan Catatan Diego de Couto
Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit 1645 mengatakan sebagai berikut.

“Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa yang dahulu berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan Madagaskar, dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli Madagaskar yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa”, (http://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_jung).

Pernyataan Diego de Couto itu menarik. Namun demikian pernyataan “walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa”, sangat menyesatkan.

Hal ini karena tehnologi kapal Cina demikian terbelakang. Ketika menyerang Jawa pada akhir abad ke 13, Kubhilai Khan yang mengerahkan pelaut-pelaut Cina hanya memiliki kapal kapasitas 30 penumpang. Kapal ini sangat kecil dibanding dengan kapal yang dimiliki Jawa abad ke-3. Pada abad ke-3, kapal Jawa telah memiliki kapal dengan kapasitas 500 orang dengan ukuran kapal 61 m.

Ketika Cheng Ho di abad ke-15 melaut dengan kapal sepanjang 136 m, Kapal Jong Jawa milik Majapahit telah jauh lebih besar dan lebih banyak. Kurang lebih 2,2-2,8 kali lipat lebih besar dan 400 buah lebih banyak dari Kapal Pusaka Cheng Ho.*
======================================

Acuan

Armando Cortesao                  The Suma Oriental of Tome Pires. London, Hakluyt Society: 1944.

Irawan Djoko Nugroho           Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti, 2012.

John R. Hale                           Abad Penjelajahan. Jakarta: Tira Pustaka, 1984.

Kasim Ahmad, M.A               Hikayat Hang Tuah. Menurut Naskhah Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Kuala Lumpur, 1964

Paul Michel Munoz                 Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Yogyakarta: Mitra Abadi, 2009.

Robert Dick-Read                   Penjelajah Bahari. Pengaruh Peadaban Nusantara di Afrika. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008.

Sitor Situmorang dan              Sejarah Melayu. Djakarta/Amsterdam: Penerbit Djambatan.

Teeuw
Zoetmulder, P.J.                      Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto-Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995

===================================



Oleh: Roedy Haryo Widjono AMZ*

Penemuan situs prasejarah di gua-gua pulau Muna, Seram dan Arguni di Maluku, mengenai lukisan perahu-perahu layar, menggambarkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut. Bahkan relief perahu bercadik di candi Borobudur kian menegaskan kejayaan peradaban maritim bangsa Nusantara.



Denys Lombard penulis buku “Nusa Jawa Silang Budaya” mengatakan Nusantara merupakan wilayah dunia yang menjadi topik menarik untuk diulas karena keeksotisan, potensi alam dan posisi geografis dalam cakupan wilayah Indocina, yang menjadi arena strategis lintas perdagangan dunia.

Di buku itu pula Denys menjelaskan secara periodik kesejarahan Nusantara (untuk menyebut fase eropanisasi, islamisasi, dan indianisasi) dalam arena percaturan dunia, persinggungan, penyebaran, perubahan budaya dan dampaknya terhadap perubahan mentalitas.

Namun kemasyhuran itu lambat laun memudar, maka jangan heran jika lagu “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” tenggelam diterjang “gelombang Jaran Goyang” yang didendangkan Nella Kharisma dengan “nada dasar” komodifikasi berlabel budaya populer.

Menelusur Kearifan Leluhur

Relief perahu di candi Borobudur menegaskan ihwal migrasi bangsa Nusantara, termasuk orang Dayak Ma’anyan yang bermigrasi ke Madagaskar. Pada relief itu terdapat 11 gambar perahu dalam tiga kategori, yaitu kano terbuat dari sebatang kayu yang dilubangi; kano dengan tambahan dinding papan, tetapi tanpa cadik; dan kano bercadik. Relief itu merupakan saksi bisu ihwal rancangan kapal tradisional bangsa Nusantara yang amat tersohor.

Adrian Horridge, pakar perahu Nusantara dan guru besar emiritus Australian National University, berpendapat, perahu yang terpahat pada relief candi Borobudur adalah cikal bakal kora-koradan merupakan “nenek moyang” kapal jung di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya.

Hasil kerja panjang para arkeolog menemukan perahu papan di ujung barat daya Semenanjung Malaya, yang setelah dilakukan uji karbon berasal dari abad III-V Masehi.

Terdapat temuan menarik ihwal teknologi pembuatan kapal, yakni bentuk papan bersilang, diikat dengan plat sambung, dan kontruksi teknik pasak. Temuan lain di Sambirejo, Sumatera Selatan, berupa kemudi setengah lingkaran sepanjang 27 kaki berukuran panjang 20 kaki. Peninggalan kapal tanpa cadik di Palembang, yang merupakan cikal bakal kapal jungdipergunakan sebagai kapal barang hingga abad XVI.

Hikayat bahari berbasis maritim (laut dan sungai) tersebut harusnya menjadi khasanah memori kolektif, pemikiran mitologi dan perkembangan peradaban yang termanifestasi dalam pengetahuan (local knowlegde), kearifan (local wisdom) dan simbol (local symbol).

Orang Bugis-Makassar-Mandar, untuk menyebut contoh, mengenal kosmologi tata ruang yang mencerminkan pandangan terhadap semesta. Pandangan kosmologi itu dikenal dengan Sulappa Eppa' Wala Suji (Segi Empat Belah Ketupat) yang mengandung multimakna.

Segi empat belah ketupat dimaknai sebagai model kesemestaan yang berkorelasi dengan empat unsur, yaitu udara, air, api, dan tanah yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Berbekal hal demikian itu Suku bangsa Bugis-Makassar-Mandar tersohor sebagai bangsa pelaut dan mewariskan tradisi passompe(tradisi para pelaut yang merantau mempergunakan kapal layar phinisi (Bugis-Makassar) dan sandeq (Mandar)).

Bukti kejayaan sebagai bangsa perantau terbukti dengan ditemukannya perkampungan di Australia, beberapa pulau di Samudera Pasifik, Madagaskar, Cape Town, Afrika Selatan, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Peradaban bangsa maritim juga termanifestasi dalam kehidupan orang Bajau yang leluhurnya berasal dari Sulu, Filipina Selatan. Sejak ratusan tahun silam mereka bermigrasi ke Sabah, Malaysia dan berbagai Wilayah Indonesia, seperti wilayah pesisir Kalimantan Timur dan pulau-pulau sekitarnya.

Laut bagi orang Bajau adalah hakikat kehidupan (Ombok Lao-Raja Laut), sebagaimana falsafah mereka “Papu Manak Ita Lino Bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana” (Tuhan memberikan laut dengan segala isinya, manusia yang memikirkan bagaimana cara memperoleh danmempergunakannya. Laut merupakan tempat merajut kehidupan dan mempertahankan diri seraya mewariskannya kepada generasi berikutnya).

Kejayaan Peradaban Maritim
Kehidupan bangsa Nusantara bertumpu pada aktivitas agraris berbasis tanah. Komoditas unggulan kala itu di antaranya padi, palawija, merica, pala, cengkeh, juga kapur barus, mur, borax, kesturi, dan emas. Kawasan penghasil komoditas ini berada di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku dan Papua. Bertalian dengan tata niaga komoditas, laut merupakan sarana hakiki untuk mengangkut berbagai hasil bumi ke wilayah Nusantara lainnya, India, Afrika, dan Cina.

Bangsa Nusantara kala itu telah memiliki pengetahuan dan teknologi perkapalan serta navigasi, sehingga mampu menyeberangi Samudera Hindia hingga ke Semenanjung India bahkan ke Timur Tengah dan Afrika. Bangsa Nusantara sudah mampu mengintegrasikan pengelolaan wilayah darat, pesisir, dan laut.

Itulah esensi kesemulaan mengenai filsafat Tanah dan Air yang dimaknai sebagai negeri. Kemahsyuran peradaban maritim jelas terungkap pada Kerajaan Sriwijaya (600-1000) sebagai kemaharajaan bahari yang amat berpengaruh di Nusantara. Daerah kekuasaannya membentangdari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera hingga Jawa. 

Kerajaan Sriwijaya memiliki pelabuhan internasional yang besar dan menguasai perdagangan di wilayah barat hingga Semenanjung Malaya. Kejayaan Sriwijaya kemudian diambil-alih oleh Majapahit (1293-1500) yang menjadi pusat kerajaan maritim Nusantara. Ketika itu kerajaan Majapahit tidak memonopoli penguasaan pelabuhan, karena pelabuhan dikelola kerajaan masing-masing dan Majapahit menyediakan sarana pendukung memperlancar perdagangan antar kerajaan. Kolaborasi itu membuat aktivitas perdaganganNusantara menjadi kuat dan disegani.

Bentangan kemasyhuran peradan maritim ini menyusul kemudian pada Kesultanan Ternate (1257-1876) yang memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara dan mengalami kegemilangan di paruh abad XVI karena perdagangan rempah-rempahdan kekuatan militernya.

Begitu juga setelahnya pada kerajaan Samudera Pasai yang menguasai aktivitas perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka hingga tahun 1521. Menurut laporan perjalanan Ma Huan dan Fei Xin,  Kesultanan Samudera Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi di sebelah selatan, sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat dengan kerajaan Nakur dan Lide. Dalam kunjungan itu, laksamana Cheng Ho menyampaikan hadiah dari Kaisar Tiongkok, berupa lonceng Cakra Donya. 

Selain ketiga kerajaan di atas, tatkala menyusuri kejayaan bangsa maritim di Sumatra, Aceh, untuk menyebut contoh, niscaya akan berjumpa dengan Keumalahayati atau Malahayati, Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Bahkan Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda pahlawan) untuk berperang melawan Belanda pada 11 September 1599 dan membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal.

Diterjang Gelombang Jaran Goyang
Laut juga sungai sebagai determinan peradaban maritim, kiranya tak tersangkal. Namun, modernisasi adalah juga realitas peradaban yang tak terelakan bagi semua suku bangsa. Kejayaan maritim mengalami keterpurukan hingga titik nadir saat kolonial Belanda menguasai Nusantara dan kaum pribumi mengalami ketertindasan yang hebat. 

Kritik terhadap transisi peradaban maritim terungkap dalam novel “Arus Balik” karya Pramoedya Ananta Toer. Ia menegaskan runtuhnya kekuatan maritim Nusantara beserta degradasi mentalitas masyarakat disebabkan karena karakteristik “peradaban daratan” tidak sekeras peradaban maritim.

Padahal sebelum kedatangan bangsa Eropa, perkembangan Nusantara jauh lebih gemilang, namun terus surut lantaran transformasi menuju masyarakat daratan yang kapitalistik.

Taktik kolonialisme Portugis, Inggris, dan Belanda adalah menaklukkan kota-kota pelabuhan seperti Malaka, Sunda Kelapa, Tuban, dan Makassar untuk menguasai perdagangan di bawah kontrol penguasa kolonial.

Pramoedya Ananta Toer menegaskan “Sejak kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (1602-1799) yang memiliki hak monopoli berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens, laut tidak lagi menjadi penghubung, tetapi menjadi pemisah antar pulau-pulau di Nusantara.”

Pada masa pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno mencetuskan Deklarasi Djuanda (13 Desember 1957), yang menyatakan bahwa laut menjadi kesatuan wilayah kedaulatan negara Indonesia. Bahkan dengan prinsip “Berdiri di atas kaki sendiri” (Berdikari) Soekarno menolak intervensi dan bantuan dari negara asing. Maka kala itu terkenal slogan provokatif “Inggris kita linggis, Belanda kita setrika, go to hell with your aid America.”

Namun pada masa rezim Orde Baru, Soeharto justru memberi peluang terhadap dominasi negara asing, melalui produk regulasi, terutama Undang-Undang Penanaman modal Asing (1967).

Sejak itulah bangsa Indonesia terpelet “jaran goyang” yang dibungkus dalam tahayul pembangunan untuk melayani kepentingan kaum kapitalis pemilik modal dalam mengelola dan mengeruk kekayaan sumber daya alam.

Selain itu, “mantra jaran goyang” yang mewujud dalam kebijakan pembangunan sangat berorientasi ke darat (tanah) dan itulah jejak awal riwayat kematian peradaban maritim.

Kebijakan geopolitik poros maritim di era Jokowi, ternyata juga masih berorientasi kapitalis dan mengabaikan dimensi populis yang bertumpu pada kesejarahan peradaban maritim. Kebijakan poros maritim meski berikhtiar membangun identitas budaya, namun bertumpu pada pembangunan infrastruktur dan praktik diplomasi middle power untuk meningkatkan peran global serta memperluas keterlibatan kerjasama di kawasan Indo-Pasifik.

Arus peradaban kontemporer kini sedang menuju peradaban global, dan gelombang transformasi peradaban terus berlangsung. Realita sosial telah memberi pembelajaran hikmah sejarah, kemahsyuran bangsa maritim terus tergerus peradaban kekinian. Namun celakalah bangsa yang telah menjadi korban pembangunanisme dan terperangkap dalam labirin a-historis sehingga alpa merawat warisan leluhur.

Namun kematian peradaban maritim hendaklah tidak diratapi, agar tidak terjerembab dalam retorika kejayaan masa lalu. Maka tetaplah bersikukuh merawat ingatan ihwal kejayaan peradaban maritim, dan menolak lupa terhadap tindakan keji pemusnahan peradaban maritim, agar tidak menjadi bangsa a-historis yang tidak mampu merawat warisan leluhur.

Semoga syair lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut menjadi inspirasi untuk melakukan revitalisasi peradaban maritim dan merajut kehidupan yang lebih beradab. Sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai (Kualleangi Tallanga Natowalia) dan di laut kita jaya(Jalesveva Jayamahe).

“/Nenek moyangku orang pelaut/gemar mengarung luas samudra/menerjang ombak tiada takut/menempuh badai sudah biasa.

//Angin bertiup layar terkembang/ombak berdebur di tepi pantai/pemuda b'rani bangkit sekarang/ke laut kita beramai-ramai.”

===================================













Tidak ada komentar:

Posting Komentar