COPAS
sumber:https://web.facebook.com/sosiologihidup/posts/2522124434512935
uraian:
Copas*
SYIAH PAGARUYUNG, SERTA UTUSAN2 KE SUMUT, (DAN HUBUNGANNYA DENGAN IMAMAT PARMALIM?)
Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Pagaruyung (atau Kesultanan) di Sumatera Barat pernah mempunyai kekuasaan besar di Sumatera, khususnya di era Adityawarman saat menjdi utusan Majapahit (penerus Singosari) dalam ekspedisi Pamalayu.
Utusan ini sampai ke Sumatera Utara, dan menurut silsilah yang tercatat dlm tarombo raja2, diketahui bahwa Kesultanan Kotapinang (Labuhan Batu Selatan) adalah kerajaan yg didirikan oleh Panglima (utusan) Pagaruyung, bernama Batara Sinomba Nan Sakti (menjd nasution), begitu jg bbrp kerajaan di Simalungun (ada yg berhubungan langsung dgn Pagaruyung maupun pd era seblmnya, Singosari) dan Tuan Ibrahimsyah di Barus (Dikenal sbgai Raja Uti dan keturunannya di Bakkara (versi Raja2 Barus) yg jg sampai ke garis turunan Guru Patimpus di Medan), serta Gocaj Pahlawan (yg juga dikenal sebagai utusan Pagaruyung versi Kesultanan Serdang).
Walaupun di era Adityawarman, Pagaruyung kemungkinan besar adalah seorang penganut Buddha, namun era selanjutnya Pagaruyung pernah dikenal menganut ajaran Syiah Qaramithah, yg blkangan menurut sejarah adalah faham yg sangat ekstrem. Syiah Qaramithah pernah menjdi Khadimul Haramaian (penguasa Mekkah) pda 930-an Masehi.
Pertanyaannya: Apakah utusan pagaruyung ke Sumut itu jg Syiah? Lalu apakah peninggalannya khususnya di Barus melalui Tuan Ibrahimsyah?
Perlu studi yg mendalam mengenai hal itu, karena bagaimanapun jg Tuan Ibrahimsyah mrpkan org yg diduga dipancung ktk Aceh cekcok dgn penguasa Barus Hilir itu.
Jika ajaran Pagaruyung adalah Syiah, maka perhatian pun tertuju pada Parmalim di tanah Batak yg punya sistem Imamat (ke-imaman) yg lazim.
Pengaruh Parmalim terlihat di sebagian penduduk Barus di era penjajahan, sblm pusat Parmalim berpindah ke Tobasa saat Parmalim didaftarkan menjd 'ajaran/agama' baru ke pemerintah Belanda oleh pengikut Sisingamangaraja XII, yg ditangkap Belanda Guru Somalaing, bahkan jauh sblm Pahlawan Nasional itu gugur di medan gerilya.
Tapi menganggap garis keturunan Sisingamangaraja sebagai dipengaruhi Syiah sangat butuh pembuktian yg mendalam mengingat kontak leluhur mrk di Pagaruyung diperkirakan hanya sampai ke SM Raja VIII yg bergelar Raja Bukit.
Setalah itu, SM Raja IX smp XII sdh lbh sering menjalin hubungan diplomatik ke Aceh.
Apakah Aceh jg dipengaruhi Syiah? Lalu mengapa org2 Padri dari Bonjol tdk sampai ke Aceh?
Bila Pagaruyung dipengaruhi oleh Syiah Qaramitah yg berhubungan dgn Ismailiyah di era Fatimiyah Mesir, maka ada kemungkinan Aceh dipengaruhi oleh Syiah yg lbh awal khsusnya Kaisaniyah yg berhubungan dgn Imamnya Muhammad bin Al Hanafiyah (ingat Hikayat Muhammad Hanafiyah). Sbgaimana jg Barus diyakini sdh lama dimasuki Islam dan skrng dikenal sbgai Titik Nol Islam.
Namun tampaknya kelompok syiah yg awal ini pudar dgn masuknya yg non-syiah di era Ayyubiah dan Mamluk di Mesir.
Apalagi berkembangnya Qaramithah (Ismailiyah) jauh sblm berkembangnya Syiah Irah (yg-12) di tanah Persia yg dulu penganut Mazhab Syafii.
Dan disempurnakan saat Aceh kemudian mnjalin hubungan yg lbh erat dgn Utsmaniyah yang Ahlu Sunnah.
Bila anda seorng penduduk Sumatera saat itu tentu terbayangkan betapa 'rumit' geopolitiknya saat itu, mk wajar kalangan Parmalim di Toba lbh memilih mempertahankan sistem imamat yg dinilai sdh dipegang leluhur.
Sbgaimana org2 di Sumatera Barat yg mash ada mempertahankan Tabuik yg jg pernah ditradisikan di Barus.
Ada kebiasaan org2 pesisir yg mirip dgn Parmalim dan dikenal dgn Balimo-limo dan Marpangir yg ternyata juga jamak dilakukan di Nusantara tp dgn istilah yg berbeda2.
Ada anggapan ini mrpkan bagian dari tradisi Syiah, walau blkangan ada jg yg mengatakan bhw itu tradisi leluhur yg diadopsi jg saat masyarakat sdh Islam.
Ada jg tradisi Syiah yg baru yg dibawa oleh Tentara Inggris yg asli India penganut Syiah di era kolonialisme maupun yg dibawa oleh imigran India yg dtg blakangan melalui jalur laut ke pesisir pantai Barat Sumatera. (Datuk Itam di Sibolga?)..
https://m.liputan6.com/news/read/131212/
Mazhab Syiah ternyata memberikan pengaruh yang tidak sedikit pada perkembangan Islam dan kebudayaan di Tanah Air. Doktor Muhammad Zafar Iqbal dalam buku Kafilah Budaya meruntut fakta tentang pengaruh-pengaruh itu. Persisnya, pengaruh Syiah di Ranah Minang, dari perayaan tabut hingga berbagai istilah di bidang pelayaran.
Dalam buku Kafilah Budaya, di samping ulama, para pedagang dan mubalig Iran juga memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan Islam di Tanah Melayu. Lewat merekalah agama yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW ini dikenal di Indonesia.
Untuk diketahui, Kerajaan Islam Perlak di Sumatra adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia dan Asia Tenggara. Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Alauddin Said Maulana Abdul Aziz Syah pada 225 Hijriah atau 840 Masehi. Syahdan, Raja Malaka Sultan Alauddin Syah mengangkat putranya sebagai penguasa di wilayah Pelabuhan Pariaman. Sang putra kemudian mengembangkan ajaran Syiah di daerah tersebut.
Dalam buku itu disebutkan juga, bahwa pasukan Dinasti Fatimiah Mesir adalah yang membawa ajaran Syiah ke Minangkabau. Di daerah tersebut, mereka berkuasa lebih dari 200 tahun. Pada masa itu, Minangkabau merupakan Kerajaan Islam Syiah yang sangat kaya.
Menurut Arkeolog Islam Uka Tjandrasasmita, Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia atau Iran ke Indonesia sudah berlangsung sejak abad ke-7 Masehi. Namun, masuknya pedagang-pedagang muslim dari Arab Saudi dan Iran ke daerah bagian Barat Indonesia melalui Selat Malaka baru terjadi abad ke-7. Bahkan menurut berita lain kata Uka, massa Bani Umayah pernah mempunyai hubungan dengan Kerajaan Sriwijaya.
Para pedagang Iran juga memperkenalkan Islam ke Jawa Tengah. Raden Fatah, raja Islam di Jawa saat itu, dikenal dengan Syah Alam Akbar. Kenyataan tersebut menjelaskan, bahwa pengaruh Iran melebihi daripada sebelumnya. Sementara itu, para sultan di Maluku juga berasal dari keturunan Ahlulbait Rasulullah SAW.
Pengaruh Iran terhadap Indonesia kebanyakan dalam bidang kebudayaan, kesusastraan, pemikiran, dan tasawuf. Melalui tasawuf dan kebudayaan Islam, kecintaan tersebut menyebar ke negeri-negeri Islam lainnya dan karena itulah kebudayaan Iran pun dikenal.
Mengenai Ahlulbait, orang-orang Iran memiliki cara khusus untuk mengenang peristiwa pembantaian Imam Husain Alaihi Salam pada bulan Muharram. Peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Karbala ini merupakan sebuah pentas kepahlawanan dunia yang telah mempengaruhi kebudayaan bangsa-bangsa nonmuslim. Meski mayoritas muslim di Tanah Air bermazhab Syafii, hasil penelitian menunjukkan bahwa kecintaan muslim Indonesia kepada Ahlulbait karena pengaruh orang-orang Iran.
Ongan Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao menulis bahwa orang-orang Syiah dari aliran Qaramitah telah memerintah di Minangkabau selama 300 tahun. Namun, pemerintahan ini tumbang akibat adanya gerakan Wahabi. Kelompok ini melakukan perlawanan yang dikenal Perang Padri pada awal abad ke-19 Masehi.
Dilaporkan, bahwa Kesultanan Pagaruyung di Minangkabau dikuasai para penganut Syiah Qaramitah. Adapun Kerajaan yang menguasai seluruh daerah Minangkabau berlangsung antara 1513 sampai 1804 Masehi. Di Kota Ulakan, orang-orang Syiah mendirikan sebuah perguruan tinggi di bawah binaan Tuanku Laksamana Syah Bandar Burhanuddin Awal yang datang dari Aceh. Di perguruan tinggi ini, sekitar 1.800 orang pintar Syiah Qaramitah melangsungkan kegiatan belajar-mengajar.
Menurut Parlindungan, keberadaan mazhab Syiah semakin kuat di Minangkabau. Ini karena pengaruh pelaksanaan kegiatan ritual Tabut pada setiap bulan Muharram guna mengenang Imam Husain Alaihi Salam. Selain itu ada ritual Basafar, yakni ziarah ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan di setiap Rabu terakhir Bulan Shafar. Ini sebagaimana orang-orang Syiah yang berziarah ke Imam Maula Ali Alaihi Salam di Nazaf dan ke Karbala guna berziarah ke Imam Husaian Alaihu Salam. Berkat usaha Syekh Burhanuddin Tuanku Ulakan dan masuknya Sultan Minangkabau ke dalam Islam pada akhir abad ke-16 masehi, ajaran Islam dari mazhab Syiah telah tersebar di seluruh Minangkabau.
Menurut Budayawan Minang Wisran Hadi, mudahnya tersebarnya mazhab Syiah di Minangkabau karena tidak berbenturan dengan ajaran lainnya, Sunni misalnya. Meski berbeda kata Wisran, perbedaan tersebut dijadikan bagian dari kehidupan. Apalagi konsep perbedaan itu dikekalkan hingga kini. "Semuanya jalan sampai sekarang," kata Wisran
Pengaruh Syiah juga terlihat pada ritual pembacaan doa untuk terhindar dari musibah atau tolak bala yang disebut dengan jampi Mantra dan pada tradisi pembacaan doa ratib. Masyarakat Melayu, misalnya, agar terhindar dari wabah penyakit membaca doa li khamsatun uthfi biha harral waba-i al-khatimah al-musthafa, wa al-murthada, wa ibnahuma, wa al-fatimah. Artinya, bagiku lima dengannya kupadamkan penyakit yaitu nabi yang terpilih, Ali yang diridhoi, Fatimah, dan kedua anak mereka, Hasan dan Husain.(BOG/Syaiful H. Yusuf dan Teguh Prihantoro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar